Kompor Jelantah Pengganti Gas


Program konversi minyak ke gas pada kendaraan bermotor dikhawatirkan mengganggu pasokan elpiji untuk kebutuhan rumah tangga terkait program konversi minyak tanah yang sudah dicanangkan sebelumnya. Untuk mengantisipasinya, dirancang kompor tekan multibahan bakar, termasuk jelantah.

Ketika program nasional konversi minyak tanah ke elpiji atau liquid petroleum gas (LPG) digulirkan pada tahun 2007, terdapat sekitar 42 juta rumah tangga yang beralih dari kompor sumbu ke kompor bertabung gas. Jumlah tersebut masih ditingkatkan lagi hingga 50 juta unit.

Dari konversi minyak tanah ke elpiji tersebut, dapat tereduksi 10 juta liter minyak tanah per tahunnya. Jumlah yang terhitung besar.

Di tengah konversi tersebut, yang kini perlu dijamin adalah keberlanjutan pasokan elpiji untuk rumah tangga. ”Sebab, kini pemerintah mencanangkan pula penggunaan LPG pada kendaraan bermotor yang disebut LGV (liquid gas for vehicle),” kata pakar energi terbarukan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Arya Rezavidi.

Guna memenuhi kebutuhan energi alternatif yang digunakan untuk memasak di kalangan rumah tangga, BPPT sejak tahun 2005 mengembangkan kompor yang dapat memanfaatkan bahan bakar nabati. Alat masak itu disebut kompor tekan multibahan bakar (KTMB).

Penggunaan minyak nabati pada kompor generasi pertamanya hanya dapat menekan sekitar 30 persen minyak tanah. ”Pada sistem itu, minyak tanah diperlukan untuk pemanasan burner yang berfungsi mengubah minyak nabati menjadi gas,” papar ketua tim perekayasa KTMB Sjaffriadi. Pada KTMB generasi I, tim melibatkan Bhakti Tjahja Agung yang mendesain sistem kompor tersebut.

Sistem pembakaran

Pada penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar kompor, lanjut Sjaffriadi, diperlukan teknik pembakaran yang dapat mengatasi fiskositas atau kekentalan minyak dan titik nyala yang tinggi. Titik nyala atau ignition point minyak nabati jauh lebih tinggi, berkisar 270 derajat celsius hingga 340 derajat celsius atau 5-6 kali lipat kerosin dan solar atau diesel yang titik nyalanya 50 derajat celsius-55 derajat celsius.

Bahan bakar nabati adalah trigliserol atau asam lemak mempunyai rantai karbon yang lebih panjang, yaitu C12 sampai C18. Adapun kerosin yang merupakan salah satu turunan minyak bumi atau bahan bakar fosil mengandung molekul hidrokarbon (HC) yang memiliki 8-9 panjang rantai karbon (C8-C10).

Selain itu, kekentalan minyak nabati juga jauh lebih tinggi, yaitu 17-32 kali dibandingkan kerosin dan minyak solar.

Untuk mengatasi kendala, kuncinya pada pemanasan. Bahan bakar nabati dipanaskan pada suhu tinggi dan menekan dengan pompa untuk mengubahnya menjadi ”kabut”.

Pada kompor generasi II, Sjaffriadi melibatkan Nugroho Adi Sasongko dan Imron Masfuri dalam tim perekayasa. Pada KTMB II itu, penggunaan BBN dan kerosin perbandingannya 5 : 2. ”Penggunaan kerosin sesungguhnya dapat digantikan dengan biosolar,” kata Sjaffriadi.

Pemanasan kompor

Untuk menyalakan kompor, diperlukan beberapa tahap, yaitu pemanasan burner yang berupa pipa spiral menggunakan spiritus. Setelah itu, ke dalam pipa tersebut dipompakan kerosin atau biosolar. Pembakaran biosolar dapat meningkatkan suhu hingga 100 derajat celsius. Setelah itu, dengan teknik pemompaan, dimasukkan minyak nabati ke dalam pipa spiral. Pembakaran itu menghasilkan panas hingga 1.000 derajat celsius. Keseluruhan proses itu memerlukan waktu lima menit.

Tahun ini, tim perekayasa KTMB akan mempersingkat proses persiapan tersebut, dari lima menit menjadi tiga menit. Untuk itu, materi pipa spiral akan diganti dengan yang memiliki penghantar panas lebih baik.

Menurut Nugroho, untuk sampai ke tahap produksi komersial, akan dilakukan serangkaian uji konstruksi, khususnya untuk memenuhi standar keamanannya.

Sementara itu, uji lapangan sudah dilakukan di Kota Bekasi dengan melibatkan 20 pengusaha tempe dan tahu. Uji coba menggunakan berbagai bahan bakar, seperti jelantah, oli bekas, dan minyak jarak. Hasilnya dinilai memuaskan.

Hingga saat ini, dari sisi komersial, telah ada industri mesin di Bandung yang menyatakan minatnya untuk memproduksi kompor tersebut.

Untuk pengembangan kompor ini, Kementerian Riset dan Teknologi akan memberikan insentif sebesar Rp 250 juta untuk membuat kompor tekan multifuel generasi baru. ”Kompor yang akan dibuat tahun ini 200 unit,” kata Sjaffriadi.

Kompor baru itu akan dibuat lebih kecil sehingga dapat dimuat dalam gerobak pedagang makanan keliling. Kompor generasi tiga ini diharapkan dapat bersaing dengan kompor elpiji berukuran 3 kilogram yang sekarang ini banyak dipakai masyarakat. (Kompas, 1 Maret 2012/ humasristek)


Ristek





Top